Menunggu Kembalinya Raport Merah
Evaluasi dalam dunia
pendidikan merupakan sebuah proses dimana satuan pendidikan melakukan proses
untuk menyajikan data hasil pembelajaran siswa. Data ini dibutuhkan oleh para
stake holder untuk berbagai keperluan, dan tentu saja juga dibutuhkan oleh sang
evaluator sendiri yatu guru. Dua faktor inilah yang sering sekali menjadi
sebuah konflik dalam evauasi. Dua faktor itu adalah kebutuhan stake holder dan
kebutuhan guru.
Stake holder ada dua.
Pertama adalah stake holder eksternal. Stake holder eksternal terdiri dari wali
murid, masyarakat, satuan pendidikan lain, dinas ataulembaga-lembaga lainya,
hingga kementerian yang membidangi pendidikan. Stake holder internal meliputi
siswa, guru, dan seluruh unsur dalam satuan pendidikan yang bersangkutan.
Mengapa stake holder
dan guru memiliki konflik kepentingan dalam evaluasi? Konflik ini diawlai dari
perbedaan tujuan dalam memahami evaluasi. Stake holder baik eksternal maupun
internal sangat mengharapakan bahwa evaluasi harus berjalan baik dan
mendapatkan hasil yang baik, kalau tidak istimewa. Dengan hasil yang baik, maka
mereka akan memiliki kepercayaan terhadap satuan pendidikan. Untuk meraih
prestasi tersebut, banyak sekali langkah-langkah yang ditempuh baik langkah
yang rasional hingga yang tidak rasional. Sementara itu guru lebih menganggap
evaluasi adalah alat untuk mengetahui seberapa jauh proses pendidikan telah
berjalan. Dengan demikian, penilaian atau evaluasi apa adanya merupakan
keinginan bagi sebagian besar guru.
Untuk memenuhi
kebutuhan stake holder maka satuan pendidikan melakukan langkah-langkah yang
sulit diterima secara rasional. Betapa tidak, sebagi contoh kecil, dengan
adanya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dalam pembelajaran, maka “diharamkan” siswa
mendapatkan nilai di bawah KKM yang ditentukan. Walhasil, nilai yang tertuang
di raport mereka cenderung seragam. Umpamanya, KKM suatu mata pelajaran adalah
78, maka (silakan cek nilai murid anda) nilai raport terlihat teratur, yaitu
nilai 78 bertebaran (paling banyak) dan diikuti nilai 79, 80, dan beberapa
nilai di atasnya hingga 99, dan bisa juga 100. Kemudian kemanakah perginya
nilai 77, 76, dan seterusnya ke bawah hingga 50 atau 40?
Nilai diatas KKM akan
membahagiakan stake holder tetapi membuat guru (yang betul-betul guru) akan
menangis dalam hati. Guru tidak memiliki kekuasaan lagi dalam penilaian. Secara
sistematis guru sudah diarahkan ke dalam pola-pola penilaian yang tidak
berpihak kepada guru-guru idealis. Sedikit saja guru berusaha melawan pola
tersebut, maka stake holder akan berada digarda depan untuk mempraktikkan
kekuasaannya agar si guru kembali ke “fitrahnya” dalam penilaian. Menyedihkan.
Evaluasi pendidikan yang
bagus ditampilkan di era tahun 80an kebawah. Saat itu, betapa sulitnya seorang
murid mendapatkan nilai raport bagus seperti 8 atau 9, apalagi 10. Alih-alih
mendapatkan “pertolongan”, seorang murid sangat mungkin mendapatkan nilai
merah! Mereka bisa mendapatkan nilai 5, 4, dan sterusnya. Di sini guru sangat
merdake dan berkuasa terhadap evaluasinya tanpa takut terhadap siapapun
(termasuk stake holder pendidikan). Kapan kita kembali ke era tersebut dalam
evaluasi pendidikan kita? Apa kita bangga dengan nilai Ujian Nasional
matematika seorang siswa 90 tetapi ketika di level pendidikan berikutnya tidak
bisa menjawab sekedar perkalian 8 x 9? Tentu tidak. Semoga dengan
kebijakan-kebijakan Menteri Pendidikan yang baru yang lebih memihak guru
akhir-akhir ini mengembalikan evaluasi yang memihak guru dan mengembalikan
perginya si raport merah.
Bekti Sawiji_kominfopemdalumajang
sumber gambar :
sumber gambar :
https://wartakota.tribunnews.com/2019/10/25/polisi-hentikan-kasus-dugaan-perusakan-buku-merah-kpk-cuma-jadi-pendengar-saat-gelar-perkara
0 Response to "Menunggu Kembalinya Raport Merah"
Post a Comment